Aku baru saja mengisi mata kuliah untuk kuliah malam di salah satu kampus swasta di kotaku.
Mata kuliah sebenarnya sudah selesai dari jam 10 tadi.
Tapi karena ada rekan sesama dosen, kami mengobrol sampai tak terasa waktu menunjukkan pukul 12 malam.
Dengan mengendarai motor, aku meninggalkan area parkir kampus.
Dalam perjalanan, semuanya tampak normal saja.
Jalanan yang mulai sepi.
Toko toko pinggir jalan yang sudah tutup.
Beberapa satpam perusahaan yang mengobrol di posnya masing masing.
Sampai ada satu hal yang menarik perhatianku.
Seorang anak perempuan dengan pakaian yang serba putih menurut dugaanku. Karena dia memakai jaket motor yang cukup tebal.
Dia sedang menuntun sepeda motor yang terlihat cukup jadul bagi anak seusianya.
Dia memakai tas ransel yang berlogo lambang salah satu akademi kebidanan yang ada di kotaku.
Lalu, kuhampirilah anak itu,
"Motornya, kenapa mbak?" Tanyaku yang tiba tiba dari arah belakangnya.
Anak itu langsung menoleh karena kaget.
"M-mati mendadak, pak" jawab anak itu dengan takut takut.
Kumaklumi sikap anak perempuan itu.
Di jam segini, dalam keadaan sendirian, dan dalam situasi yang seperti ini, tentu saja dia merasa ketakutan.
"Ayo saya bantu dorong dari belakang. Kayaknya ada bengkel yang masih buka dideketnya lampu merah sana," tawarku.
Dengan tatapan ragu, akhirnya anak itu mengangguk setuju.
Lalu, aku pun mulai membantunya mendorong sepeda motor sampai bengkel yang kumaksud.
Alhamdulillah, ternyata benar. Bengkel yang kumaksud masih buka dan mau menerima.
"Terima kasih pak, terima kasih banyak, saya sudah telpon bapak saya, bentar lagi bapak saya datang nyusul..." ujar anak itu dengan nada yang sangat sopan.
Akupun mengiyakannya dan selalu mewanti wanti untuk berhati hati.
Setelah itu, akupun kembali mengendarai motor untuk pulang.
Aku membayangkan kekhawatiran istriku yang mudah sekali panik tahun tahun terakhir ini.
Dalam perjalanan pulang, aku menjadi teringat sesuatu.
Sesuatu yang sehrusnya tidak kuingat lagi.
Sebenarnya, anak perempuan tadi, mengingatkanku pada anak semata wayangku.
Namanya Intan.
Cantik. Bertutur kata halus. Sopan. Tidak ada yang mengecewakan darinya.
Umurnya hampir 21 tahun kala itu.
Saat tragedi itu terjadi.
Untuk pertama kalinya kala itu, Intan menuntut untuk melanjutkan sekolah ke akademi keperawatan.
Sebenarnya, baik aku dan istriku, menginginkannya untuk menjadi guru saja.
Tapi, karena putri kami itu tidak pernah meminta apa apa, akhirnya kamipun menurutinya saja.
Waktu berlalu sangat cepat.
Intan sudah memasuki semester 6.
Sebentar lagi, Intan akan lulus dan menjadi perawat.
Sesuai dengan impiannya.
Tapi ternyata rencana Allah berkata lain.
Kala itu, Intan baru pulang magang dari dinas siang di sebuah rumah sakit swasta besar dikota yang jadwalnya dari jam 2 siang sampai jam 9 malam.
Tapi karena dia membantu seniornya di ruang bedah, akhirnya dia baru keluar dari rumah sakit sekitar jam setengah 12 malam.
Sebeneranya, sebelum dia berkendara pulang menaiki motorpun, Intan sempat menelponku meminta maaf pulang telat, karena habis membantu seniornya melakukan tindakan operasi di ruang bedah.
Akupun mengiyakannya dan mewanti wanti agar berhati hati dan sempat menawarkannya untuk menjemputnya saja, jadi motornya dia tinggal di rumah sakit.
Tapi iapun menolaknya karena tidak tega melihatku kelelahan yang juga baru pulang mengajar.
1 jam menunggu, Intanpun belum pulang.
Istriku yang pertama panik.
Karena biasanya, Intanpun setengah jam sudah sampai dirumah.
Lalu aku menenangkannya, mungkin dia pelan pelan bawa motornya karena banyak anak yang ngebut ngebutan.
Setengah jampun berlalu.
Akupun mulai merasa tidak enak juga dan istriku semakin panik.
Akupun berniat menyusulnya untuk mencarinya.
Belum sempat menyalakan motor di garasi, istriku berteriak dari dalam rumah sambil menyodorkan handphonenya.
Katanya dari pihak kampus menelpon.
Akupun menerimanya dengan tangan bergetar.
Intan, putriku, anak semata wayangku, ditemukan tewas di parit dengan luka gorok dileher dan saat ini sedang dievakuasi ke rumah sakit terdekat.
Motornya hilang. Dompetnya hilang. Handphonenya hilang.
Anakku dibegal. Dijambret. Dirampok. Entah.
Intinya, anakku tewas dalam peristiwa itu.
Putriku. Anakku. Anak semata wayangku.
Tidak terasa 10 tahunpun berlalu.
Tahun tahun yang berat aku dan istriku jalani dengan penuh siksaan batin.
Terutama aku sebagai ayahnya.
Andai saja, aku yang menjemputnya malam itu.
Andai saja, dia kularang untuk masuk perawat.
Andai saja, andai saja, dan andai saja lainnya.
Sering kudapati istriku menangis di shalat tahajudnya.
Dan akupun, jujur selalu menangis pula di setiap doaku.
Memikirkan, Allah sangat menyayangi putriku.
Makanya nyawanya diambil duluan.
Tapi kenapa dengan cara yang seperti itu?
Kenapa?
Astaghfirullah... astaghfirullah...
Aku selalu berusaha untuk memaafkan segalanya.
Tapi sebagai seorang ayah.
Sebagai orang yang selama ini menjaganya dengan sangat.
Semua ini berjalan begitu berat.
Lalu kutemui anak perempuan tadi.
Setidaknya, aku membantu ayahnya untuk tidak menjadi sepertiku ini.
Jangan ada lagi musibah yang menimpa ayah ayah lainnya sepertiku.
Cukup aku saja.
Walaupun aku sering tidak ikhlas jika egoisku datang.
Tapi aku selalu husnudzon.
Mungkin inilah jalan yang dipilihkan Allah untuk kami.
Yang Kutuntun di Tengah Malam,
Semoga Allah selalu melindungi dan menyayanginya.
Selesai.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar